Untuk anak 90an tentu masih sangat akrab dengan tulisan Arab Melayu. Ada yang dahulunya disebut dengan muatan lokal, namun ada juga yang menyebutnya sebagai Arab Melayu.
Belakangan, penulisan Arab Melayu tidak lagi dikenalkan secara fokus seperti dulu. Kebanyakan anak 2000-an tidak mengenal apa itu Arab Melayu.
Bahkan untuk beberapa nama jalan di Riau yang khas dengan penulisan dua jenis huruf alafabeth Indonesi dan Arab Melayu, terdapat beberapa jalan yang penulisan Arab Melayunya tidak sesuai dengan kaidah.
Hal ini disampaikan oleh budayawan Riau yang juga merupakan seorang dosen serta dewan pembina Sekolah Tinggi Pariwisata Riau, Profesor Suwardi M.Si.
“Saat ini, ada nama jalan yang ditulis dengan Arab Melayu namun tidak sesuai dengan kaidahnya, bisa dibilang salah. Seperti cara penulisan Jalan Ali Kelana,” ungkapnya pada Rabu (26/2).
Tulisan Arab Melayu juga merupakan sejarah bagi bangsa Indonesia, dan tidak hanya di Riau.
Penulisan Arab Melayu erat kaitannya dengan berbagai manuskrip kuno tentang sejarah yang tertulis, yang kemudian diresap menjadi dasar diciptakannya Bahasa Indonesia.
Kita perlu lestarikan Arab Melayu dan bersama untuk kembali mengingat kaidah yang benar untuk kemudian diturunkan sebagai ilmu pengetahuan.
Untuk anak 90an yang memang sangat akrab dengan Arab Melayu apakah masih mengingat kaidah yang benar? Satu pertanyaan lagi, menurut Encik dan Puan apakah Arab Melayu harus dilestarikan dengan cara yang benar?