Eksploitasi terhadap sumber daya alam membuat keberadaan kawasan konservasi hutan kian terancam. Perambahan secara masif dengan cara-cara tak bertanggung jawab terus dilakukan demi kepentingan pribadi.
Berbicara mengenai hutan Riau, siapa yang tak kenal dengan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Ya, pasca musibah kebakaran Lahan dan Hutan (Karlahut) beberapa bulan lalu, kawasan ini menjadi salah satu daerah penghasil asap terbesar di Riau.
Betapa tidak, diperkirakan ratusan lahan yang berada di kelurahan Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan tersebut terbakar hebat saat itu.
Penasaran seperti apa kondisi sebenarnya di tempat kejadian, akhir pekan lalu penulis berkesempatan melakukan perjalanan ke TNTN mengikuti agenda Edu Trip Senandung Tesso Nilo yang di prakarsai Green Radio, salah satu media penggiat lingkungan di Pekanbaru mulai Kamis (17/12) dan Jum’at (18/12).
Perjalanan dari Pekanbaru menuju TNTN menggunakan jalur darat memakan waktu empat jam, berangkat pukul 8.30 WIB sampai dilokasi pukul 12.30 WIB.
Lama perjalan karena akses jalan yang bergelombang dan bertekstur kerikil sebelum memasuki kawasan TNTN. Saat itu, sejauh mata memandang yang terlihat hanya pohon sawit dan akasia milik beberapa korporasi.
Jalan berlubang cukup mengguncang perut kala melewati jalan bertekstur tanah yang lebarnya hanya cukup untuk melintas sebuah bis berukuan sedang. Sayang, akses jalan tak bisa dibenahi karena lahan milik korporasi.
Portal besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Flying Squad’ menandakan kita telah memasuki kawasan TNTN. Di kawasan tersebut terdapat sebuah base camp Balai TNTN, dua tempat penginapan minimalis bagi para wisatawan yang berkunjung, dan sebuah pendopo.
Sebagai kawasan dataran rendah, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) terkenal dengan keanekaragaman hayatinya yang beraneka ragam. Baik flora dan faunanya. Namun kini, semua itu terancam punah akibat perambahan.
Hal tersebut dikatakan Direktur Kawasan Konservasi dari Dirjen Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hartono pada kesempatan bersamaan juga mengunjungi TNTN.
Di sebuah pendopo di TNTN diskusi mengenai TNTN berlangsung hangat. Menurutnya, saat ini kondisi TNTN sangat memprihatinkan.
Betapa tidak, dari 80.000 hektar lahan di kawasan TNTN, berdasarkan data di tahun 2014 kawasan hutan TNTN hanya tersisa 30.000 hektar. Ini disebabkan perambahan dan kebakaran hutan yang terjadi setiap tahunnya.
“Tapi, kita belum terlambat, masih banyak kesempatan untuk berbuat demi TNTN,” ujarnya optimis.
Jika tidak ada upaya mempertahankan kondisi ini, Dikatakannya, perambahan hutan akan berpotensi memunahkan flora dan fauna endemik TNTN. “Kita gak mau, nanti pohon Meranti hanya ada di museum,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Staf Khusus Kemen-LHK, Nova. Dikatakannya, karena keanekaragaman hayati di taman nasional yang beraneka ragam, hal ini menurutnya harus dijaga.
Untuk itu, pentingnya kerjasama Pemerintah Daerah bersama dengan Kementerian. “Kesampingkan dulu permasalahan perambahan dan kebakaran, yang penting sekarang bagaimana kita menjaga,” ungkapnya.
Perlunya bekerja sama dengan Pemda, dikatakannya karena keterbatasan anggaran yang dimiliki Kementerian Kehutanan. “Di 2016 kita hanya memiliki anggaran Rp5,5 Triliun untuk 52 juta hektar taman nasional se-Indonesia,” sebutnya.
ditulis oleh : Ryan Edi Saputra