Pengamat Infrastruktur dan Jasa Konstruksi Provinsi Riau Prof Sugeng Wiyono menyatakan ada indikasi kerugian negara dalam proyek Stadion Utama yang akan menjadi lokasi pembukaan “Islamic Solidarity Games (ISG)” 2013.
“Sebelumnya dikabarkan bahwa bestek awal proyek tersebut berkapasitas sekitar 48 ribu kursi penonton, namun belakangan dikabarkan menciut jadi 37 ribu kursi. Jika hal demikian benar, maka ada indikasi kerugian negara yang begitu besar,” kata Sugeng di Pekanbaru, Minggu.
Jika dalam kontrak awal pengerjaan proyek tersebut ternyata tidak sesuai dengan pelaksanaannya, demikian Sugeng, maka hal tersebut terang-terang telah menyalahi Undang-undang No.18 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Menurut dia, salah satu yang tidak bisa diganggu gugat dalam aturan jasa konstruksi adalah perjanjian kontrak itu yang benar-benar telah mengikat.
“Sebaiknya, pemerintah mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, karena jika pelaksanaan ISG dilaksanakan di stadion itu, maka pelanggaran hukumnya bisa berlapis-lapis. Terlebih kabarnya proyek tersebut juga belum ada serah terima,” katanya.
Menurut dia, stadion yang dibangun di lahan seluas 66,4 hektare dengan luas bangunan 77.552 meter persegi itu, jika harus dikalkulasikan harga per meter persegi mencapai Rp10,735 juta.
Sementara jika dihitung harga per kursi penonton, kata dia, yakni nilai proyek per kursinya mencapai Rp19,438 juta.
Menurut dia nilai tersebut sangat fantastis, dan jauh lebih besar nilainya dibandingkan dengan stadion-stadion lainnya di tanah air.
Sebagai perbandingan, kata dia, pembangunan stadion berkapasitas 40 ribu kursi di Gedebage, Jawa Barat, yang dibangun hampir bersamaan dengan Stadion PON Riau, hanya memerlukan biaya Rp623 miliar atau satu tempat duduk biayanya Rp16,4 juta. Kemudian stadion Palaran untuk PON Kalimantan Timur dengan kapasitas 50 ribu kursi hanya memerlukan biaya Rp800 miliar.
Maka, kata Sugeng, nilai proyek stadion kebanggaan masyarakat Riau itu patut dipertanyakan, terlebih jika terjadi selisih dari jumlah kursi tersebut, maka kerugiannya tinggal dikalikan dengan perkiraan nilai proyek per kursinya saja.
Pihak internal subkontraktor pembangunan proyek Stadion Utama di Kompleks Universitas Riau (UR) yang sebelumnya juga sempat difungsikan sebagai lokasi pembukaan dan penutupan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XVIII/2012 menyatakan, pembangunan proyek tersebut marak pelanggaran hukum.
Selain jumlah kursi yang tidak sesuai dengan perjanjian kontrak awal, menurut sumber yang tidak ingin disebutkan namanya, juga terjadi penggelembungan anggaran.
Yang pertama, kata dia, jika jumlah kursi sebelumnya direncanakan mencapai 48 ribu dan hasil akhirnya justru berkurang jadi 37 ribu kursi, artinya terjadi penciutan hingga selisihnya berjumlah 11 ribu kursi.
Sumber ini mengatakan, harga kursi per unitnya adalah mencapai Rp9 juta dan artinya terjadi penciutan anggaran mencapai Rp99 miliar (jika dikalkulasikan jumlah kekurangan kursi 11 ribu dikalikan Rp9 juta).
Kursi-kursi stadion itu sebelumnya dipesan oleh subkontraktor yakni PT Dekorindo dari Malaysia.
Kemudian, kata dia, dugaan pelanggaran lainnya adalah stadion itu sebelumnya direncanakan pembangunannya hanya berstandar nasional bukan internasional.
“Namun di tengah perjalanan, terjadi perubahan kontrak yang diduga tanpa ada kekuatan hukum tetap. Proyek stadion itu pun lari dari bestek awal menjadi stadion berkelas internasional,” katanya.
Kondisi demikian yang kemudian, menurut dia, menyebabkan terjadinya pembengkakan anggaran dari semula Rp900 miliar menjadi lebih dari Rp1,1 triliun.
Menurut Undang-undang No.18 1999, jika terjadi pembengkakan anggaran terhadap suatu proyek hingga melampaui 10 persen dari nilai awal, maka harus dilakukan tender ulang.
“Namun hal ini tidak sama sekali dilakukan sehingga benar-benar telah melanggar hukum tentang jasa konstruksi,” katanya.
Kesalahan paling telak, demikian sumber, proyek Stadion Utama tersebut sejauh ini belum ada serah terima hingga sebenarnya terjadi kesalahan-kesalahan berlapis.
“Mulai dari penyelenggaraan AFC (Piala Asia) hingga PON, penyelenggaraan keduanya adalah sebuah pelanggaran hukum. Kemudian kalau lagi dilaksanakan ISG tanpa dilakukan terlebih dahulu serah terima proyek, maka dapat dikatakan penyelenggaraannya adalah ilegal,” katanya.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) sebelumnya sempat memunculkan opsi pemindahan dari Pekanbaru, Riau, ke Jakarta. Namun belakangan, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) kembali mementahkan opsi pemindahan tersebut.
Sesuai dengan rencana pihak kementerian terkait dengan pelaksanaan ISG mulai dari Kemenkokesra, Kemenpora, Panitia Nasional ISG hingga KOI akan melakukan peninjauan langsung ke Riau, pada Senin (13/5). Setelah tinjauan tersebut baru akan diputuskan apakah ISG tetap digelar di Riau atau dipindahkan ke Jakarta.