#beritaPKU Ketika Geng Motor Menjadi Virus Teror

0
284

Hanya dalam waktu dua tahun, keberadaan geng motor di Kota Pekanbaru tumbuh bagai virus penebar kekerasan dengan jumlah anggota lebih dari 500 orang. Ironisnya, sebagian besar diantaranya adalah anak-anak muda berstatus pelajar.

Seorang remaja tanggung, sebut saja Ang, hanya bisa menundukkan mukanya merapat ke meja di Mapolres Pekanbaru pada Selasa siang (14/5). Remaja berusia 17 tahun itu masih tercatat sebagai siswa di sebuah sekolah menengah kejuruan (SMK) unggulan di Pekanbaru, namun pilihannya kali ini membawanya ke jalan yang salah.

“Saya benar-benar menyesal, bang. Saya benar-benar malu sama orang tua saya,” katanya.

Dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis, Ang meratapi penyesalannya. Keterlibatannya dalam geng motor Sincan sejak setahun lalu malah membawanya harus berurusan dengan hukum. Di usianya yang masih sangat muda, Ang kini ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka kasus perusakan sebuah warung internet bersama kawanan geng motor.

Ang mengatakan awalnya sekadar ikut-ikutan masuk geng motor bersama teman-temannya. Dengan kondisinya kini, Ang terpaksa harus mengubur mimpinya menjadi seorang polisi.

“Saya punya cita-cita jadi polisi. Tapi sekarang, entahlah. Saya pasrah,” ujarnya lesu.

Ang tidak sendiri meratapi nasibnya, karena ada enam pelajar yang di dalam ruangan itu berstatus tersangka akibat terlibat tindak kriminal bersama kawanan geng motor. Dari catatan Polresta Pekanbaru, sebanyak 51 orang dari geng motor yang akan ditangkap karena tindak kriminal dan 11 diantaranya masih pelajar SMP dan SMA, termasuk didalamnya Ang.

Di lihat dari postur tubuhnya, para anggota geng motor yang ditangkap Polresta Pekanbaru jauh dari sosok tinggi kekar dan bertato seperti anggota geng motor Hells Angels yang sangat ditakuti di Amerika Serikat. Mereka mayoritas adalah remaja berusia belasan tahun alias ABG (anak baru gede), berbadan kurus dan jauh dari kesan seram.

Namun, tindakan mereka sudah masuk dalam kategori kriminal pidana berat. Catatan polisi menunjukkan selama tahun 2012 ada sedikitnya 25 kasus pidana yang dilakukan geng motor di Pekanbaru, dan awal tahun ini sudah ada sekitar 16 kasus. Kejahatan yang mereka lakukan antara lain pencurian dengan kekerasan, perusakan, penganiayaan, hingga pemerkosaan terhadap korban.

Penyesalan juga ditunjukkan oleh Fit, pemuda putus sekolah berusia 18 tahun yang kini juga berstasus tersangka. Ia mengaku baru dua bulan bergabung dengan geng motor XTC dan dipercaya sebagai panglima.

Ia ditangkap karena ikut menyaksikan pemerkosaan yang dilakukan tiga orang anggota geng motor terhadap seorang karyawati di Stadion Utama PON Riau di kompleks Universitas Riau, Minggu (5/5).

Fit mengungkapkan, banyak remaja yang ketika masuk ke geng motor akhirnya terjebak dan tidak bisa keluar dengan aman. Sebabnya, ketika keluar mereka kerap dianggap sebagai tertuduh apabila ada anggota geng motor yang ditangkap polisi. Akibatnya, banyak anggota geng motor takut untuk keluar karena ancamannya berat, yakni dibunuh sebagai pengkhianat.

“Orang yang keluar itu bakal jadi incaran anggota geng motor untuk dianiaya. Makanya kami takut untuk keluar,” ujarnya.

Modus Perekrutan

Aksi kriminal geng motor di Pekanbaru tidak lepas dari sosok Mardijo alias Klewang.

Kapolres Pekanbaru Kombes Pol Adang Ginanjar mengatakan, pria bangkotan berusia 57 tahun itu merupakan mantan residivis yang dianggap sebagai ketua tertinggi, bahkan seperti guru spiritual, bagi seluruh kelompok geng motor di Pekanbaru.

Pria tersebut ditakuti karena konon kebal senjata tajam, namun kini ia sudah tidak berdaya setelah dicokok oleh polisi.

“Klewang ini menjadi otaknya, karena ia memberi instruksi kapan anggotanya harus bergerak dan setiap penyerangan harus mendapat restu darinya,” kata Adang.

Penangkapan terhadap Klewang akhirnya mengungkap keterkaitan geng motor, termasuk modus perekrutan anggota di kalangan pelajar. Klewang sebenarnya merupakan anak dari keluarga polisi, namun saat dewasa menjadi kriminal dan berulang kali masuk penjara. Dua dari enam anak Klewang menjadi ketua geng motor di Pekanbaru.

Menurut Adang, kira-kira 2010, anak Klewang yang bernama Bambang Suprianto setelah pulang dari Bandung, Jawa Barat, membentuk geng motor XTC di Pekanbaru. Bambang menjadi Ketua XTC, sedangkan Klewang diangkat sebagai Ketua Besar.

Untuk membesarkan pengaruh geng motor itu, Klewang bersama Bambang mulai melakukan tindakan anarkis untuk menakuti kelompok geng motor lainnya sehingga mau bergabung dengan XTC.

Dalam proses perekrutan anggota, Klewang mewajibkan calon anggota berkelahi dengan anggota XTC untuk uji nyali.

“Sedangkan, untuk yang perempuan, tersangka (Klewang) akan menyetubuhinya,” kata Adang.

Klewang juga akan menentukan orang-orang terpercayanya untuk dijadikan panglima di geng motor. Tersangka juga mencari panglima yang berstatus pelajar di sekolah-sekolah untuk melakukan perekrutan di institusi pendidikan.

Setelah itu, setiap anggota wajib menyetor uang sebesar Rp5.000 setiap bulan dengan dalih uang kas untuk operasional. Tersangka juga memerintahkan anggota geng motornya melakukan perampasan, pemerasan yang hasilnya disetor kepada Klewang.

“Sedangkan jika mendapat sepeda motor, maka sepeda motor tersebut dijual atau digunakan sebagai sarana pergerakan mereka,” ujar Adang.

Menurut dia, Klewang sudah berhasil menghimpun sekitar 500 anggota geng motor dan membawahi enam kelompok. Kelompok tersebut antara lain XTC, ARC, JRC, Sincan, Street Demon, dan Atiet Abang.

“Setiap kelompok dipimpin oleh seorang ketua, wakil ketua, bendahara dan panglima perang yang mantan residivis,” katanya.

Adang bertekad kepolisian yang kini dipimpinnya akan menumpas habis kawanan geng motor di Pekanbaru.

“Kami juga berkoordinasi dengan kepolisian di setiap daerah, karena informasinya ada tersangka yang buron kabur keluar Riau,” ujarnya.

Virus Terorisme

Ahli psikologi sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN Suska) Riau, Dr Mirra Noor Milla  mengatakan, fenomena kelompok kekerasan seperti geng motor tumbuh subur di kota-kota besar akibat adanya kultur kekerasan yang didukung oleh kondisi lingkungan.

Keberadaan geng motor di Pekanbaru tidak muncul secara tiba-tiba, karena kelompok seperti itu sudah sejak lama ada, yang biasanya dibentuk oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan hobi otomotif dan petualangan.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir kelompok yang mengutamakan kekerasan lebih mendominasi akibat pembiaran terhadap perilaku kekerasan itu terjadi tanpa ada upaya penghukuman berarti dari aparat.

“Yang sangat disayangkan adalah, kenapa sudah sejauh ini aparat kepolisian membiarkan kelompok itu berkembang,” kata Mirra.

Menurut dia, seharusnya Pemerintah Kota Pekanbaru dan aparat kepolisian bisa mencegah berkembangnya kelompok geng motor pimpinan Klewang dengan menghambat berkembangnya kultur kekerasan melalui penegakan hukum dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk beraktivitas.

Sikap permisif dan pembiaran secara berulang-ulang itu membuat kekerasan dianggap menjadi budaya yang bisa diterima, dan fatalnya hal itu dianggap sesuatu yang hebat bagi generasi muda yang sedang mencari identitas. Dalam kasus geng motor, para remaja akhirnya menjadi korban dari tindakan pembiaran para penguasa dan aparat hukum terhadap virus anarkisme dan terorisme.

“Geng motor ini sudah bisa dikategorikan teroris, karena mendengar namanya saja orang sudah takut.” katanya.

Klewang dengan mudahnya melakukan perekrutan hingga ke institusi pendidikan dengan target para remaja yang merasa tidak mendapat peran di lingkungannya. Mereka, yang disebut Mirra sebagai remaja yang termarjinalkan, mendapati Klewang sebagai mentor dan panutan yang bisa menerima mereka dan memenuhi kebutuhan psikologis.

Perekrutan itu makin dipermudah dengan sikap Pemerintah Kota Pekanbaru yang alpa memberikan ruang dan peluang bagi remaja yang termarjinal untuk bisa beraktivitas secara positif.

“Saya melihat di Pekanbaru ini pemerintah daerah sangat kurang memberikan peluang bagi remaja yang termarjinalkan untuk berkompetisi melalui berbagai kegiatan-kegiatan positif,” katanya.

Jadi, sangat tidak arif ketika sekarang kita menyatakan perang terhadap geng motor sebagai pelaku kekerasan, ketika kita juga yang sebenarnya membiarkan mereka tumbuh subur di tengah masyarakat.

Berapa banyak lagi generasi muda di Bumi Lancang Kuning yang harus menjadi korban virus kekerasan dan terorisme yang akan merenggut masa depan gemilang mereka? (Antara Riau)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.