Si Manis Bernama Kabut Asap

0
158

Problematika masa lalu yang tak kunjung usai terus terjadi di Provinsi ini, Kabut asap itu nama manisnya. Permasalahan ini bukanlah hal yang biasa tapi selalu dianggap biasa oleh yang berkuasa.

Ini tentang masyarakat yang terus terpuruk di dalam jurang yang begitu dalam dan gelap sehingga mata mereka tak bisa saling memandang tapi mulut mereka terus berucap ini semua terjadi karena apa, ini semua siapa penyebabnya.

Secara teoritis kebakaran hutan dapat terjadi akibat beberapa faktor yang pertama ialah alam, manusia dan kombinasinya, faktor alam jelas tergambar seperti kondisi hutan yang mudah terbakar, sedangkan faktor manusia adalah bersifat kesengajaan ataupun karena kelalaian.

Kita semua sadar bahwa di tahun 2014/2015 merupakan cuaca paling menggenaskan dan tak pantas untuk kita konsumsi, dimana Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sampai pada tahap “Berbahaya”.

Kebakaran hutan di Riau merupakan kegiatan tahunan yang tujuannya untuk melakukan perluasaan lahan dengan cara yang instan, gratis, dan menghasilkan tanah yang subur.

Kegiatan ini berlangsung jelas secara ilegal namun terus berjalan layaknya secara legal, sampai saat ini tercatat sekitar lebih dari 27 ribu hektare luas karhutla di Riau terjadi.

Dominasi investasi dan buruknya perizinan yang dibuat pemerintah menjadi pemicu kebakaran hutan di Riau, dari luas daratan di Riau sekitar 8.915.016 hektare lebih dari setengahnya merupakan demi kepentingan investasi.

Dominasi investasi inilah yang menguliti tata ruang di Riau, dari perizinan yang abai bahkan cenderung kearah koruptif permainan ini jelas merupakan kejahatan bisnis yang di kuasai oleh korporasi-korporasi.

Pernyataan ini bukan tanpa dasar dimana ditangkapnya dua Gubernur Riau yaitu Rusli Zainal dan Anas Maamun, oleh KPK dengan kasus penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan dan alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan.

Latar belakang terjadinya pembakaran hutan secara ilegal adalah pembangunan, dimana atas nama pembangunan semua hal dianggap bisa dilaksanakan tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi.

Pada tataran teoritis perubahan paradigma pembangunan akan membawa sebuah “pencerahan” di dalam perspektif negara berkembang, dimana masing-masing kelompok memerlukan sentuhan yang berbeda.

Pemerintah di era reformasi selalu bergerak pada sudut pandang pembangunan berbasis “pemberdayaan masyarakat” baik itu dilakukan dalam tataran struktural maupun individu, muncul dan memengaruhi proses pemberdayaan, penyebabnya jelas kurang siapnya infrastruktur birokrasi dan minimnya sumber daya memadai sebagai pelaku yang aktif dalam proses pembangunan.

Dalam kasus pembakaran lahan di Riau kita sama-sama mengetahui para pemilik modal yang berkantong tebal, punya andil besar terjadinya kebakaran hutan di Riau ini.

Ditambah tidak kuatnya hukum yang mengatur mengenai pembakaran hutan dan lahan, walaupun pemerintah pernah mengeluarkan peraturan mengenai pemanfaatan hutan dan lahan gambut dimana pada tahun 2011 telah mengeluarkan mengenai moratorium tentang konsesi baru mengenai hutan utama dan lahan gambut.

kedua peraturan pemerintah No. 71 tahun 2014 mengenai tidak diperbolehkannya membuka lahan gambut, dan di tahun 2016 pemerintahan era Jokowi merivisinya menjadi peraturan pemerintah No. 57 tahun 2016 soal perlindungan dan pengelolaan gambut.

Namun tetap saja pemilik modal besar ataupun kecil melihat semua lahan gambut di Riau tetap dianggap sebagai komoditas yang seksi dan strategis untuk tanaman ekspor, yaitu perkebunan kelapa sawit, dengan teknik membakar jelas memotong biaya yang besar dan menggunakan waktu yang lebih cepat.

Cara-cara seperti ini menciptakan kerusakan-kerusakan ekologis yang parah. Oleh sebab itu pada tahun 2008 Indonesia berhasil mencatatkan namanya di Guiness Book of World Records sebagai penghancur hutan tercepat diantara negara-negara yang memiliki 90 persen dari sisa dunia.

Kita tak tahu harus berbangga atau bersedih pasalnya tercatat dalam Guiness Book of World Records merupakan impian banyak individu maupun kelompok. Pemerintah daerah ataupun pusat terlihat hanya bergerak stagnan beberapa tahun ini mengenai isu pembakaran lahan di Riau.

Seharusnya pemerintah bisa mengatur melalui birokrasi yang ketat dan mewajibkan kepada para pemilik saham untuk menggunakan cara yang aman agar terjaganya ekosistem, dan menciptakan Sustainable Development yang baik dimana harus memperdulikan lingkungan.

Dampak dari semua ini tetap akan menjurus kepada satu nama yaitu Masyarakat, hampir setiap tahun mereka merasakan permasalahan yang sama. Tak peduli berapa kali pemangku jabatan tertinggi di Negara ini berganti, kabut asap tetap terjadi seakan-akan ingin menjadi suatu budaya yang melekat pada masyarakat terutama di Riau.

Mungkin bapak Gubernur Syamsuar berkata bahwa kebakaran hutan tahun ini belum mengkhawatirkan, tapi di tiap sudut sana banyak yang berteriak bahwa perekonomian terhambat, tagihan rumah sakit melonjak, pendidikan yang penting pun terhalang, itu semua karena si manis bernama kabut asap.

Oleh sebab itu sebagai pemegang tertinggi hak-hak dan kewajiban di negara demokrasi ini, masyarakat tidak diperbolehkan untuk berdamai dengan si manis bernama kabut asap.

Masyarakat harus berani melawan, masyarakat harus berani bersuara dan masyarakat juga harus menciptakan komunitas-komunitas sadar lingkungan, baik itu dibawah payung pemerintah ataupun bergerak secara independen. Demi terciptanya semboyan “Bumi Bertuah Negeri Beradat”.

Ditulis oleh Muhammad Fadel

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.