Legenda Ikan Patin

0
2528

Sebagai penduduk Provinsi Riau, Encik dan Puan tentu mengenal ikan patin. Ikan ini merupakan jenis ikan konsumsi air tawar yang banyak digemari oleh banyak orang terutama di wilayah Indonesia. Ikan ini memiliki tubuh yang panjang berwarna putih silver dengan punggung berwarna biru kehitaman.

Meski ikan patin ini cukup populer di kalangan orang Melayu, ada sebagian orang Melayu yang tidak mengkonsumsi ikan ini. Berikut ini legenda mengenai ikan yang sering diolah menjadi asam pedas ini:

Awang Gading adalah seorang nelayan tua yang tinggal di tepi Sungai Jantan, nama Sungai Siak dahulu. Meski tinggal sendirian, ia tetap bahagia. Ia menghabiskan waktunya untuk mencari ikan di sungai dan kayu di hutan.

Suatu hari Awang Gading sedang mengail ikan di tepian sungai, berkali-kali umpannya dimakan ikan. Tapi saat kailnya ditarik, ikannya terlepas. Hari itu tidak ada satupun ikan yang tersangkut pada kailnya.

Saat akan beranjak pulang, tiba-tiba Awang Gading mendengar tangisan. Dengan mengendap-endap, Awang Gading mencari sumber suara tersebut. Akhirnya ia menemukan bayi perempuan yang baru lahir tergeletak di atas batu.

Karena tidak menemukan orang tua dari bayi tersebut, Awang Gading membawa bayi itu pulang ke rumah. Malam itu, ia menghadap Ketua Kampungnya untuk melapor dan menyerahkan bayi yang ditemukannya itu.

Ketua Kampung menerima kedatangan Awang Gading dengan raut gembira karena menurut Ketua Kampung, hal itu adalah sebuah anugerah dari Raja penghuni Sungai untuk memelihara anak itu.

Awang Gading yang memelihara dan merawat anak tersebut karena ia telah lama hidup menyendiri, kemudian mengadakan syukuran dengan mengundang seluruh tetangganya.

Anak tersebut kemudia diberi nama Dayang Kumunah. Sejak kehadiran Dayang, membuat Awang Gading makin semangat bekerja. Tiap hari diajaknya Dayang pergi mengail dan mencari kayu untuk mengenalkan keindahan alam kepada anaknya itu.

Waktu semakin berlalu, Dayang tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti yang luhur. Dia juga selalu ayahnya dalam menyelesaikan pekerjaan. Hanya saja ada satu keganjilan yang membuat Awang Gading tidak habis pikir, kenapa anaknya tidak pernah tertawa.

Suatu hari, entah bagaimana seorang pemuda kaya bernama Awangku Usop singgah di rumah Awang Gading. Awangku Usop terpesona akan kecantikan Dayang Kumunah. Lalu Awangku Usop melamar Dayang Kemunah dan lamaran tersebut diterima oleh Awangku Gading. Tetapi Dayang Kemunah mengajukan suatu syarat.

Dayang Kemunah meminta kepada Awangku Usop untuk tidak membuatnya tertawa, karena ia berasal dari dunia yang berbeda. Ia berasal dari dunia sungai dan mempunyai kebiasaan berbeda dengan manusia. Meski demikian, ia akan tetap belajar menjadi istri yang baik.

Karena telah terlanjur mencintai Dayang Kemunah, Awangku Usop menyetujui syarat tersebut. Pernikahan pun dilangsungkan dengan disaksikan seluruh kampung. Kedua pasangan itu sangat serasi, Dayang Kemunah sangat cantik dan Awangku Usop sangat tampan.

Kehidupan rumah tangga mereka cukup bahagia, hingga suatu ketika Awang Gading meninggal dunia. Dayang Kemunah pun terus bersedih sampai berbulan-bulan, meskipun Awangku Usop selalu berusaha membahagiakan hati istrinya itu.

Kesedihan Dayang Kemunah akhirnya terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang. Kebahagiaan kembali tercipta di keluarga tersebut.

Namun seiring berjalannya waktu, Awangku Usop merasa kebahagiaan keluarganya belum lengkap jika belum melihat Dayang Kemunah tertawa. Meskipun Awangku Usop masih tetap memegang syarat dari Dayang Kemunah saat melamarnya dulu.

Suatu hari, si bungsu mulai pandai berjalan. Seluruh anggota keluarga tertawa bahagia melihatnya, kecuali Dayang Kemunah. Awangku Usop meminta Dayang Kemunah untuk ikut tertawa.

Tentu saja hal itu ditolak Dayang Kemunah, ia kembali mengingatkan syarat yang pernah diajukan pada suaminya. Namun, Awangku Usop terus mendesaknya.

Karena takut mengecewakan hati suaminya, Dayang Kemunah pun tertawa. Saat membuka mulut, tampak insang ikan dalam mulutnya yang menandakan bahwa ia merupakan keturunan ikan.

Tak lama setelah itu, Dayang Kemunah segera ke sungai. Awangku Usop dan anak-anaknya yang keheranan, kemudian mengikuti Dayang Kemunah.

Sesampai di sungai, perlahan tubuh Dayang Kemunah berubah menjadi ikan. Awangku Usop yang segera menyadari kesalahannya, kemudian meminta maaf. Ia meminta Dayang Kemunah untuk kembali ke rumah.

Namun semua terlambat, Dayang Kemunah telah menjadi ikan kembali dengan bentuk badan cantik dan kulit mengkilat tanpa sisik. Mukanya menyerupai manusia, ekornya seolah-olah sepasang kaki yang bersilang. Ia diyakini sebagai ikan patin.

Sebelum menyelam ke dalam air untuk selama-lamanya, Dayang Kemunai berpesan pada Awangku Usop untuk menjaga anak-anaknya. Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih atas kepergian Dayang Kemunai dengan cara tak lazim tersebut.

Sehingga mereka anak beranak kemudian berjanji tidak akan makan ikan patin karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya, sebagian orang Melayu tidak memakan ikan patin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.